Candi ini terletak di Dukuh
Unggah-Unggahan, Desa Trowulan, Kecamatan Trowulan.
Dilokasi hanya tersisa batu-batu andesit yang merupakan reruntuhan candi tersebar di pelataran dan di gundukan tanah seluas 2370 m2.Candi ini juga disebut Sanggar Pamelengan karena dahulu di tempat ini terdapat sebuah arca seorang wanita yang berbadan seperti ikan dan sebuah arca bersayap yang dikenal dengan Arca Menakjinggo. Arca itu kini ditempatkan di Gedung Arca Mojokerto (Museum). Di bulan Pebuari-Nopember 1977 diadakan penggalian dan diperoleh data adanya 3 lapisan fondasi lama.
Dilokasi hanya tersisa batu-batu andesit yang merupakan reruntuhan candi tersebar di pelataran dan di gundukan tanah seluas 2370 m2.Candi ini juga disebut Sanggar Pamelengan karena dahulu di tempat ini terdapat sebuah arca seorang wanita yang berbadan seperti ikan dan sebuah arca bersayap yang dikenal dengan Arca Menakjinggo. Arca itu kini ditempatkan di Gedung Arca Mojokerto (Museum). Di bulan Pebuari-Nopember 1977 diadakan penggalian dan diperoleh data adanya 3 lapisan fondasi lama.
Kisah Menak Jinggo dan Damar Wulan
Konon
disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Majapahit yang dipegang oleh
Ratu Ayu Kencana Wungu (Suhita) terjadi pemberontakan yang dilakukan
oleh Minak Jinggo (Bhre Wirabumi). Pokok persoalan pemberontakan
tersebut adalah karena Menak Jinggo ingin memperistrikan Ratu Ayu
Kencana Wungu tetapi ditolak karena wajah Menak Jinggo seperti raksasa.
Hampir saja Menak Jinggo memperoleh kemenangan karena ia sangat sakti sebab memiliki senjata yang disebut gada wesi kuning. Akhirnya Ratu Kencana Wungu membuka sayembara barangsiapa yang dapat mengalahkan Menak Jinggo akan memperoleh hadiah yang luar biasa.
Tersebutlah seorang ksatria putra seorang pendeta bernama Raden Damarwulan yang memasuki arena sayembara. Dalam peperangan dengan Menak Jinggo hampir saja Damarwulan dapat tersingkir. Akan tetapi atas bantuan dua orang selir Menak Jinggo yang bernama Dewi Waita dan Dewi Puyengan akhirnya Menak Jinggo dapat dikalahkan. Selanjutnya Dewi Waita dan Dewi Puyengan menjadi istri Damarwulan. Sebagai imbalan atas kemenangan itu maka Damarwulan akhirnya menjadi suami Ratu Ayu Kencana Wungu dan bersama-sama memerintah di Majapahit.
Hampir saja Menak Jinggo memperoleh kemenangan karena ia sangat sakti sebab memiliki senjata yang disebut gada wesi kuning. Akhirnya Ratu Kencana Wungu membuka sayembara barangsiapa yang dapat mengalahkan Menak Jinggo akan memperoleh hadiah yang luar biasa.
Tersebutlah seorang ksatria putra seorang pendeta bernama Raden Damarwulan yang memasuki arena sayembara. Dalam peperangan dengan Menak Jinggo hampir saja Damarwulan dapat tersingkir. Akan tetapi atas bantuan dua orang selir Menak Jinggo yang bernama Dewi Waita dan Dewi Puyengan akhirnya Menak Jinggo dapat dikalahkan. Selanjutnya Dewi Waita dan Dewi Puyengan menjadi istri Damarwulan. Sebagai imbalan atas kemenangan itu maka Damarwulan akhirnya menjadi suami Ratu Ayu Kencana Wungu dan bersama-sama memerintah di Majapahit.
Cerita Damarwulan-Menak Jinggo ini rupa-rupanya sangat populer di Jawa Tengah terlebih-lebih di Jawa Timur. Hingga sekarang kita masih dapat melihat peningggalan tersebut dalam bentuk makam kuno yang terletak di Desa Troloyo, Trowulan, Mojokerto. Di sana kita jumpai suatu kompleks makam yang oleh penduduk dianggap sebagai makam Ratu Ayu Kencana Wungu. Dewi Waita dan Dewi Puyengan serta beberapa orang pengikutnya. Makam tersebut menurut penelitian para ahli yang sebenarnya adalah makam-makam Islam yang awal. Dari angka tahunnya yang tertulis pada nisan-nisan menunjuk angka 1295 M - 1457 M.
Tidak jauh dari Troloyo, masih di Desa Trowulan juga kita jumpai sebuah candi yang oleh penduduk setempat dinamakan candi Menak Jinggo. Melihat berbagai hiasan serta peninggalan lain yang terdapat di sekitar candi tersebut dapat diperkirakan bahwa candi Menak Jinggo berasal dari zaman Majapahit.
No comments:
Post a Comment